Senin, 25 Oktober 2010

Masih Adakah Nasionalisme?

Mengusik kembali nasionalisme. Nampaknya sebuah ungkapan yang tepat buat mengupas masalah Nasionalisme. permasalahan ini sudah sekian kalinya dibahas oleh akademisi. Bahkan setiap tahunnya nasionalisme masih diperbincangkan. Seperti yang dipaparkan oleh ketiga pembicara dalam kuliah umum di sastra kemarin membicarakan hal yang klasik yang dihadapi bangsa ini. Nasionalisme tidak akan habis-habisnya untuk dibahas oleh bangsa ini sejak tahun 1928 yang dikenal dengan lahirnya Sumpah Pemuda, bangsa Indonesia dengan pemudanya mencoba untuk menyusun potongan-potongan seperti Pazzel yang berserakan. Bangsa Indonesia yang dikenal dengan keanekaragaman (budaya dan SARA) mencoba dalam mencari suatu solusi dalam menyikapi keanekaragaman di Indonesia. Ketika masa pemerintahan kolonial tahun 1928 ini timbulah suatu gerakan pemuda yang dinamanakan Sumpah Pemuda tersebut. Dalam perkembangannya Sumpah pemuda saat ini masih diperingati namun minim untuk dihayati.

Permasalahan bangsa ini yang tidak kunjung usai mengenai disintregrasi menjadi sebuah masalah utama, sehingga maklum di Indonesia dibentuk lembaga Pertahanan Nasional (Lemhanas). Nampaknya kesadaran sejarahlah yang mesti diutamakan dalam mengintegrasikan bangsa ini. Mengutip kata-kata dari Reza D. Dienaputra (Dosen Sejarah Ilmu Sejarah Unpad), bahwa “bangsa ini telah amnesia sejarah” sehingga perlu disadarkan kembali ingatannya mengenai sejarah. Bukan hal yang mustahil jika bangsa ini sadar akan sejarahnya maka bangsa ini akan arif dan bijak dalam menyikapi masalah disentegrasi yang melanda bangsa ini.

Sebagai contoh suatu gerakan separatis[2]yang memecah kesatuan dan persatuan Indonesia. Akhir-akhir ini mulai banyak bermunculan. Kemunculan seperti Gerakan Aceh Merdeka (GAM), Republik Maluku Selatan (RMS), Organisasi Papua Merdeka (OPM), serta separatis timor timur yang telah memisahlkan dari Indonesia. Semua gerakan ini tidak lain adalah karena bangsa ini tidak memahami sejarah dan mau belajar dengan sejarahnya.

Sebagai tambahannya hasil kuliah umum yang diadakan oleh Fakultas Sastra untuk memperingati DiesNatalis sastra yang ke 52. Amat penting, masalahnya perspektif yang digunakan oleh ketiga pembicara yaitu Kusman K.Mahmud, Miftahul Falah, dan Fadly Rahman. Ketiga pembicara membicarakan perpektif nasionalisme dengan pendekataan yang berbeda. Pendapat Kusman mengenai upaya dalam meyatukan bangsa ini dengan sastra merupakan suatu pendekatan yang begitu menggelitik dan perlu diketahui. Secara awam mungkin kita bertanya apa yang bisa dilakukan sastra sebagai upaya dalam memcegah disintegrasi bangsa. Namun suatu hasil pemikiran yang mengejutkan ternyata karya sastra bisa menjadi mediasi dalam perpecahan bangsa ini. Penulis mengambil contoh adalah karya-karya sastra masa 60-an semangat para punjangga 45 dalam eranya mewarnai bangsa ini serta berkontribusi dalam mencapai kemerdekaan bangsa ini. Atau para pujangga baru yang berkembang antara 1930-1940 yang amat kental membawa tema kebangsaan. Setidaknya hasil-hasil karya bangsa mengenai nasionalisme memberikan kontribusi untuk memberikan semangat heroik bangsa ini. Setidaknya karya sastra ini mewakili jamannya yang merespresentasikan keadaan waktu itu, karya-karya sastra dapat membangkitkan kembali semangat nasionalisme. Walaupun karya sastra lebih banyak pada gerakan yang non-kontak fisik melakukan perlawanan, tetapi karya sastra memiliki pengaruh yang efektif dalam pergerakan pada masanya yakni membangkitkan semangat penikmatnya.

Sedangkan pembicara yang disampaikan oleh Miftahul Falah, menggunakan pendekatan pers sebagai upaya menguatkan nasionalisme. Walaupun sebenarnya pers sangat sedikit dan tidak semua bisa masyarakat membaca. Setidaknya pers memiliki kekuatan yang besar sebagai sarana perjuangan bangsa ini. Pers yang garang, sangar, serta tendensius[3] ini memiliki ruh nasionalisme yang kuat ketika masa Hindia Belanda. sehingga pers perlu berhati-hati dengan kebijakan pemerintah kolonial belanda agar tidak dibredel. Pers merupakan bukti nyata akan perkembangan intelektual bangsa ini, tulisan yang dibuat adalah hasil oleh pikir guna memberikan pesan kepada pembaca akan gagasan penulis tersebut. Hal ini juga pernah dilakukan pada kaum intelektual bangsa ini sejak awal abad 20 seperti yang pernah dilakukan organisasi BO Boedi Oetomo (1908). Meskipun media serba terbatas ini yang hanya dipahami oleh mereka yang telah mengenyam pendidikan. Namun keberanian akan pernyataan yang kritis patut menjadi contoh akan keberanian untuk bersikap pada pemerintah kolonial. seperti yang disampaikan pada makalah yang disampaikan pembicara kedua yang menerangkan pengaruh pers dalam usaha perjuangan kemerdekaan. Terutama perjuangan pers lokal yang menyokong perjungan nasional.

Dan penulis ketiga lebih menekankan akan fenomena masyarakat mengenai kejiwaannya. Amok sebuah kata kunci yang dibahas. Yang menurut penulisnya sendiri ( Fadly rahman ) kata Amok mengalami pergeseran makna dari sebuah sifat Kesatria (Masa kerajaan) hingga sikap brutal atau kriminal. Nampaknya penulis, Fadly rahman mencoba menjelaskan sebuah keterikatan antara apa yang dipahami dan berbeda. Sebuah fenomena yang lengkap dengan penyebab dan akibatnya masa sekarang, yang dihadapi bangsa ini menyerupai fenomena masa kolonial, hanya yang berbeda adalah kelompok yang mereka lawan. jika dahulu para amok ini membela martabat mereka, sekarang mereka menjual martabat mereka. Penulis mengambil contoh masalah tanjung priuk, sebuah peristiwa amukan masa melawan pihak pemerintah. Mereka sama-sama memiliki sifat amok itu, namun penyalagunaan yang salah. Tidak semestinya Amok ini menjadi senjata membabi buta bangsa ini sendiri oleh orang kita sendiri.

Sehingga yang saya pahami dari ketiga pembicara terkait dengan isu nasionalisme dewasa ini yang semakin meluntur. Bahwa minimnya memahami sejarah membuat orang gelap mata, seperti layaknya kuda yang dipasang kaca mata kuda, kuda yang disetir, diarahkan, bahkan dipaksa untuk menurut pemiliknya. Sama akan masyarakat Indonesia belakangan ini bangsa ini amat rentan akan provokasi4 sehingga dalam gerakanya tidak mengenal saudara sendiri. Kekuasaan memiliki pengaruh yang besar dalam mengubah bangsa ini. Sedangkan rakyat hanya menjadi korban. Semua lembaga tunduk kepada pemerintah mulai dari pejabat pendidikan, media bahkan akademisi pun tak berdaya. Sehingga kita perlu merenungi kembali akan perjalanan sejarah bangsa ini.



1. KBBI: Nasionalisme (1) paham (ajaran) untuk mencintai bangsa dan negara sendiri; sifat kenasionalan: -- makin menjiwai bangsa Indonesia; (2) kesadaran keanggotaan dl suatu bangsa yg secara potensil atau aktual bersama-sama mencapai, mempertahankan, dan mengabadikan identitas, integritas, kemakmuran, dan kekuatan bangsa itu; semangat kebangsaan

2. Wikipedia :Separatisme politis adalah suatu gerakan untuk mendapatkan kedaulatan dan memisahkan suatu wilayah atau kelompok manusia (biasanya kelompok dengan kesadaran nasional yang tajam) dari satu sama lain (atau suatu negara lain).

3. KBBI: (1) bersifat berpihak; (2) suka menyusahkan (melawan)

4. KBBI: perbuatan untuk membangkitkan kemarahan; tindakan menghasut; penghasutan; pancingan: sebaiknya mereka menyadari bahwa -- yg ditimbulkannya itu akan mengundang pertumpahan darah